MAKALAH PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN DI INDONESIA

MAKALAH
PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN DI INDONESIA  
DISUSUN :
NUR AISYAH TANJUNG
1501280058
JURUSAN  MANAJEMEN BISNIS SYARAI’AH








UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
(UMSU)
2017/2018








KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT . sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah manajemen pembiayaan bisnis syariah. Makalah ini berisi tambahan pengetahuan kepada siapa saja yang ingin mempelajari tentang Pembiayaan dan pembayaran bisnis syariah
Dalam penulisan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang saya  hadapi. Namun saya  menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, kerjasama  dari teman-teman,  sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan bermanfaat  bagi  pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Muhammadiya Sumatra Utara (UMSU).
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran  yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.


Medan, 04 Januari 2018

      Penulis




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR........................................................................................i             
DAFTARISI.......................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.LATAR BELAKANG
2.Rumusan masalah
3.Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian komoditas..............................................................................2
2.      Perkembangan perjanjian perdagangan Internasional.............................................................................................9
3.      Perkembangan perdagangan komoditas pertanian Indonesia.................................................................................................10
4.      Kebijakan perdagangan komoditas pertanian masa mendatang...............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG

      Pembiayaan transaksi ekspor impor sangat penting peranannya dalam pelaksanaan perdagangan internasional. Transaksi perdagangan ekspor impor dimulai dengan adanya sales kontrak, negoisasi dokumen dan akhirnya dilakukannya penagihan pembayaran. Dalam melakukan perdagangan internasional terutama perdagangan dalam sektor pertanian sangan memberikan perkembangan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.        Kemampuan dan pengetahuan tentang perdagangan ekspor dan impor mutlak harus dikuasai bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam perdagangan internasional seperti personel bank, perusahaan ekspor impor, perusahaan pelayaran, perusahaan asuransi, instansi pemerintah yang berwenang dalam bidang perdagangan internasional dan lain-lain.

2.      Rumusan masalah
1.              Pengertian perdagangan internasional
2.             Perkembangan perjanjian perdagangan Internasional3.
3.             Perkembangan perdagangan komoditas pertanian Indonesia
4.              Kebijakan perdagangan komoditas pertanian masa mendatang
3.  Tujuan penulisan
1.       mengetahui arti dari perdagangan internasional komoditas.
2.       mengetahi Perkembangan perjanjian perdagangan Internasional
3.       mengetahui Perkembangan perdagangan komoditas pertanian Indonesia
4.       mengetahui Kebijakan perdagangan komoditas pertanian masa mendatang



BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian pasar komoditas
Pasar komoditas merupakan pasar yang dikembangkan bersama dengan dewan syariah nasionla majelis ulama Indonesia (DSN-MUI) untuk mendukung aktivitas industri keuangan syariah di Indonesia. Industri keuangan dunia menggunakan transaksi jual beli sebagai underlying aktivitas bisnisnya. DSN-UMI melihat potensi bahwa Indonesia sebagai penghasil terbesar komoditi dan JFX sebagai bursa komoditas.
Komoditas merupakan barang yang diperdagangkan dan laku di pasaran dunia internasional. Komoditas yang diperjual belikan merupakan hasil pertanian, pertambangan ,industri kayu dan jasa yang memiliki standar internasional.

1.              Fungsi pasar komoditas
Ada beberapa fungsi pasar komoditas ;
a.              Tempat informasi tentang jenis barang yang diperdangkan di pasar dunia
b.              Tempat mengadakan transaksi jual beli berbagai komoditas
c.              Tempat informasi tentang negara yang membutuhkan barang/komoditas.

2.              Terdapat dua transaksi dalam pasar komoditas
a.              Transaksi efektif yaitu transaksi jual beli di bursa barang yang diakhiri dengan penyerahan barang dagangan.
b.              Transaksi spekulasi yaitu merupakan bentuk transaksi yang bersifat spekulasi saja, bukan merupakan transaksi murni, dengan tujuan penerimaan dan penyerahan barang di terima setelah beberapa bulan melakukan kesepakatan.
perdagangan internasional sudah dilakukan secara lebih mendalam dan mengglobal. Perkembangan teknologi, transformasi dan komunikasi yang semakin modern menjadi penyebab semakin menipisnya batas-batas antar negara.tujuan perdagangan adalah untuk memaksimumkan surplus perdagangan dimana ekspor melebihi impornya sehingga negara mendapat tambahan kekayaan (emas) yang besar.
Ketergantungan Indonesia pada perdagangan internasional sebagai mesin penggerak perekonomian nasional cukup besar. Beberapa menurut para ahli ekonomi bahwa  salah satu aktivitas perekonomian yang tidak dapat dilepaskan dari perdagangan internasional adalah aktivitas aliran modal, baik yang sifatnya masuk maupun keluar, dari suatu negara. Ketika terjadi aktivitas perdagangan internasional berupa kegiatan ekspor dan impor maka besar kemungkinan terjadi perpindahan faktor-faktor produksi dari negara eksportir ke negara importir yang disebabkan oleh perbedaan    biaya dalam proses perdagangan     internasional.

Perdagangan internasional (ekspor dan impor) dan FDI merupakan dua aktivitas penting bagi perekonomian Indonesia yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Penelitian mengenai keterkaitan antara perdagangan internasional dan FDI pun telah banyak dilakukan baik itu di luar negeri maupun di Indonesia. Namun dengan adanya perbedaan tersebut  menyimpulkan bahwa terdapat hubungan satu arah atau hubungan dua arah dan hubungan positif antara perdagangan internasional dan FDI namun ada pula yang berhubungan negatif. Berdasarkan pemaparan tersebut, kajian mengenai hubungan antara FDI dan perdagangan internasional menjadi penting untuk dilakukan.
secara umum sistem pemasaran komoditas pertanian termasuk hortikultura masih menjadi bagian yang lemah dari aliran komoditas. Suatu sistem pemasaran yang efisien harus mampu memenuhi dua persyaratan yaitu: (1) mengumpulkan hasil pertanian dari produsen ke konsumen dengan biaya serendah-rendahnya; dan (2) mampu mendistribusikan pembagian balas jasa yang adil dari keseluruhan harga konsumen akhir kepada semua pihak yang terlibat mulai dari kegiatan produksi hingga pemasaran. Secara empiris di lapangan seringkali dijumpai bahwa para petani produsen tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga terutama saat panen, dan para pedaganglah yang dapat lebih akses untuk dapat memperoleh harga yang lebih tinggi tersebut terutama bagi pasar modern.

3.      Reformasi Perdagangan Sektor Pertanian
Sebagai negara agraris, perdagangan merupakan kunci keberhasilan pengembangan sistem agribisnis. Kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang dicapai pada tahun 1994 melalui pertemuan Putaran Uruguay (Uruguay Round) diberlakukan mulai 1 Januari 1995 dan berakhir pada 31 Desember 2005. Kesepakatan di bidang pertanian (AoA) merupakan bagian sangat penting dalam kesepakatan umum tersebut. Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi kesepakatan itu, Indonesia telah mengajukan komitmennya sebagaimana yang tertuang dalam Schedule XXI. Isi komitmen untuk perdagangan hasil-hasil pertanian penurunan tarif (tariff reduction), tarif kuota (quota tariff), pengamanan khusus (Special Safegard=SSG), dan subsidi ekspor (export subsidy).
Faktor-faktor dalam perdagangan dibagi menjadi faktor internal dan eksternal:

1.              Faktor internal
Faktor internal yang dapat meningkatkan volume impor adalah:
(i)                 penurunan areal tanam yang mengakibatkan penurunan produksi,
(ii)               rendahnya efisiensi usahatani sehingga daya saingnya rendah;
(iii)             peningkatan konsumsi hasil dari pertanian dalam negeri sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri olahan tani.
2.              Faktor Eksternal
Faktor eksternal dalam bahasan ini adalah faktor yang berasal dari luar sistem agribisnis, terutama kebijakan perdagangan, baik dari pemerintah sendiri maupun kebijakan negara lain. Sesuai dengan perjanjian pertanian (AoA= Agreement on Agriculture) dari WTO, segala bentuk proteksi, subsidi, dan pembatasan non tariff untuk impor harus secara bertahap dikurangi. Namun demikian, negara-negara maju justru sangat melindungi petaninya, baik dengan memberikan subsidi produksi maupun subsidi ekspor. Sampai batas tertentu, hal ini memang diperbolehkan dalam AoA yang baru disadari sekarang negara berkembang, mempunyai banyak kelemahan dan celah. Bantuan dalam kelemahan yang terdapat dalam hal ini dengan  berupa subsidi input atau peralatan untuk menekan biaya produksi, dan bisa juga berupa subsidi ekspor untuk pelaku usaha yang mengekspor usaha pertanian ke negara-negara importir. Kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani dan eksportir di negara-negara maju.

4. Upaya dalam melaksanakan gatt/wto oleh indonesia.
          Salah satunya dengan melakukan liberalisasi perdagangan di sektor pertanian. Kebijakan ini membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan perdagangan komoditas agroindustri Indonesia. Salah satu kebijakan yang berpengaruh terhadap komoditas sektor agroindustri adalah pencabutan subsidi pupuk dan dilepaskannya distribusi pupuk kepada mekanisme pasar. Meski memiliki tujuan positif untuk meningkatkan daya saing di pasar internasional, ternyata kebijakan ini menimbulkan permasalahan baru di tingkat petani. Ketidaksiapan di tingkat pelaksana ternyata mengakibatkan biaya produksi tidak dapat ditanggung oleh harga jualnya karena terlalu tinggi. Kebijakan tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan produktivitas, serta kinerja daya saing komoditas agroindustri Indonesia di pasar global.
Pada komoditas yang langsung menggunakan pupuk sebagai salah satu faktor produksinya, seperti komoditas dengan kode ISIC golongan 0, kebijakan itu akan memberi pengaruh langsung pada penurunan kinerja daya saing. Penurunan yang paling banyak terjadi pada  komoditas , dengan penurunan masing- masing mencapai 0.20 dan 0.48. Kondisi ini, tentu akan berimbas pada komoditas- komoditas yang menggunakannya sebagai input  antara (intermediate input) karena produk akhirnya (final output) akan semakin berdaya saing rendah karena biaya produksinya akan semakin tinggi.
Salah satu sasarannya adalah untuk mendukung peningkatan ekspor dan substitusi impor melalui perkembangan tanaman rempah dan penyegar dengan melakukan indikator yaitu :
 (1) mengembangkan tanaman cengkeh, pala, kopi, kakao, lada, dan teh,
 (2) memberdayakan pekebun tanaman rempah dan penyegar,
(3) mengembangkan sumber benih tanaman rempah dan penyegar,
dan (4) koordinasi pengembangan tanaman rempah dan penyegar.
secara umum daya saing ekspor rempah Indonesia mengalami pergeseran dari kategori pengembangan ke kategori potensial selama periode pra dan pasca krisis ekonomi. Namun demikian tidak semua (ekspor) komoditas rempah Indonesia memiliki daya saing yang tinggi dan faktor keterikatan mata rantai perdagangan rempah dengan negara-negara ASEAN yang lebih mendominasi dalam aliran perdagangan rempah Indonesia. Untuk itu penekanan pada konsolidasi internal pada subsektor perkebunan komoditas rempah menjadi langkah awal yang lebih realistis dalam mensiasati peningkatan daya saing rempah tersebut. Hal ini karena komoditas rempah belum menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi dan masih dibudidayakan secara sederhana serta terbatas. Oleh sebab itu, solusi peningkatan daya saing harus dilakukan secara terintegrasi, yaitu mulai dari (1) budidaya rempah yang meliputi teknik dan teknologi budidaya, (2) pasca budidaya melalui pengembangan industri hilir rempah, dan (3) kebijakan perdagangan yang mencakup fasilitasi perdagangan rempah. Teknik dan teknologi budidaya rempah bertujuan menstimulasi kenaikan daya saing. Selanjutnya tantangan dan permasalahan dalam teknik budidaya menyangkut solusi terhadap (a) serangan hama dan penyakit, seperti hama penggerek batang yang menyerang cengkeh, penyakit foot root pada lada hitam, dan sebagainya, (b) banyaknya tumbuhan rempah yang diperbanyak dengan vegetatif sehingga menyebabkan terbatasnya variabilitas genetik untuk program perbanyakan, contohnya pada tanaman pala yang berbeda akan sulit berbuah tanpa tanaman jantan, (c) kebutuhan penyerbukan buatan pada vanili, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak sehingga tidak feasible secara ekonomi . Sedangkan dari sisi pengembangan teknologi budidaya rempah, petani rempah banyak terkendala dengan keterbatasan modal dan informasi.
Adapun komoditas rempah yang potensial untuk diperdagangkan adalah vanili, kayu manis, jahe, kunyit, safron, timi, daun salam, daun kari, dan lada. Sedangkan komoditas rempah yang memerlukan pengembangan lebih lanjut  adalah cengkeh. Di sisi lain intensitas kompetisi komoditas rempah negara-negara ASEAN di pasar Indonesia cenderung menurun antara periode pra dan pasca krisis ekonomi. Meskipun tidak dominan, Indonesia perlu mewaspadai kompetitor rempah lain, yaitu Filipina untuk lada, Thailand untuk vanili, dan Malaysia untuk cengkeh. Secara umum daya saing rempah Indonesia sangat potensial untuk ditingkatkan di masa mendatang, di samping sumber dayanya yang besar. Upaya-upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan potensi tersebut dapat dilakukan melalui (a) teknik budidaya (aplikasi teknologi benih, pest control management, dan teknologi pascapanen) yang baik dan terjangkau bagi petani-petani berskala kecil, (b) pengembangan industri hilir rempah untuk meningkatkan nilai tambah dan sekaligus kualitas produk rempah, dan (c) penggunaan bursa komoditas sebagai sarana mengurangi fluktuasi harga rempah, ketidakkontinuitasan bahan baku, dan memberikan kepastian dalam berproduksi. Selain itu intensitas persaingan rempah yang cenderung menurun harus tetap diperhatikan oleh pemerintah dengan melakukan perbaikan fasilitasi perdagangan sebagai bagian dari upaya meningkatkan daya saing rempah dengan mengurangi dwelling time dan biaya perdagangan rempah dari dan ke pasar Indonesia. 
Sektor agroindustri Indonesia sudah memiliki keunggulan komparatif yaitu sumber daya alam yang melimpah dan tenaga kerja yang banyak dan murah. Perlu dilakukan research and development (R & D) agar keunggulan komparatif tersebut menjadi keunggulan kompetitif sehingga menguntungkan bagi devisa negara. Sasaran yang harus dicapai adalah menghasilkan final product yang bernilai tambah tinggi. 
Strategi kebijakan untuk meningkatkan daya saing komoditas sektor agroindustri dapat dibuat berdasarkan skala prioritas yaitu penekanan pada akumulasi modal (capital accumulation), akumulasi pengembangan sumberdaya manusia (human resource development accumulation) atau penekanan pada akumulasi teknologi (technological accumulation). Kunci keberhasilan kinerja daya saing komoditas agroindustri di perdagangan global adalah konsistensi serta sinergi yang baik antara kebijakan yang dibuat untuk merangsang perkembangan ekspor melalui inovasi R & D, serta kebijakan yang dibuat untuk melindungi komoditas agroindustri di dalam negeri melalui kebijakan proteksi, subsidi dan bea masuk barang impor.
Secara umum, pertumbuhan ekspor produk pertanian Indonesia ke kawasan ASEAN relatif lebih baik dibandingkan dengan lima negara pesaing lainnya. Negara-negara ASEAN umumnya belum memperhatikan dengan baik pertumbuhan impor di masing-masing negara ASEAN menurut komposisi produk dan distribusi pasarnya secara tepat. Hal ini patut diwaspadai karena ada indikasi makin tertekannya pasar ASEAN oleh produk-produk pertanian dari luar kawasan ASEAN, seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Australia dan negara-negara penghasil produk pertanian lainnya.  Pada komponen persaingan pasar, Indonesia merupakan negara yang mempunyai daya saing positif terkuat pada periode 1997-1999. Empat negara lainnya (Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina) mempunyai nilai daya saing negatif, sedangkan Vietnam bernilai positif tetapi jauh di bawah Indonesia. Namun pada periode 1999-2001, Thailand dan Filipina mampu memperbaiki daya saing produk pertaniannya menjadi bernilai positif, sedangkan Vietnam sebaliknya, dan Malaysia dan Singapura tetap negatif. Khusus bagi Indonesia, walaupun daya saingnya lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN pada periode 1997-1999, penurunan nilai daya saing pada periode 1999-2001 patut diwaspadai. Thailand dan Filipina merupakan dua negara pesaing potensial. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk komoditas ekspor, Indonesia cukup siap bersaing di pasar ASEAN, namun harus tetap waspada terhadap Thailand dan Filipina.    Indonesia masih menghadapi permasalahan mulai dari usahatani, pengolahan dan pemasaran hasil, yang menyebabkan terjadinya inefisiensi pada komoditas ekspor. Jika permasalahan ini dapat segera dipecahkan, maka daya saing produk-produk ekspor pertanian Indonesia di pasar ASEAN akan makin kuat sehingga akan makin siap dalam menghadapi persaingan dengan sesama negara ASEAN di pasar ASEAN dalam era perdagangan bebas AFTA.   
Upaya perbaikan efisiensi usahatani, pengolahan dan pemasaran hasil perlu terus dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia di masa datang. Di bidang perdagangan pertanian  penggunaan teknologi tepat guna akan dapat meningkatkan efisiensi. Teknologi pasca panen dan pengolahan hasil harus mampu mencegah terjadinya kehilangan hasil dan mendapatkan rendemen yang tinggi tanpa menyebabkan kehilangan gizi yang terkandung dalam produk. Demikian pula, pemasaran akan lebih efisien jika kondisi sarana dan prasarana angkutan makin baik, sistem angkutan yang tidak menimbulkan banyak kerusakan produk dan kemitraan saling menguntungkan antara petani dan eksportir.   Ekspor ke negara-negara Non-ASEAN perlu tetap menjadi perhatian karena pangsa ekspor Indonesia ke ASEAN masih relatif kecil. Negara-negara tujuan utama adalah Amerika Utara (AS dan Kanada), Eropa dan Asia Timur (Jepang dan Korea) perlu tetap menjadi sasaran utama sambil mencari negara tujuan lainnya (Timur Tengah, eks Uni Sovyet, dan lain-lain). 
B. PERKEMBANGAN PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL 
Perundingan mengenai liberalisasi perdagangan dunia yang lebih terarah, berimbang dan melibatkan banyak negara secara formal baru dimulai pada bulan September 1986, setelah ditanda-tanganinya Deklarasi Punta del Este yang selanjutnya dikenal dengan Putaran Uruguay. Perundingan multilateral untuk menata perdagangan internasional ini berada dalam sistem GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), dengan tujuan untuk mencegah meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju.Meskipun Indonesia telah melakukan reformasi ekonomi mulai bulan Juni 1983, tetapi keikutsertaan di dalam GATT memberikan arti yang sangat penting, karena dapat dijadikan landasan dalam melakukan liberalisasi perdagangan. Dalam liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah menghasilkan dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Dari hasil perundingan tersebut merupakan agenda yang ambisius dalam reformasi perdagangan di Sektor Pertanian. Ada dua hal yang disepakati, yaitu: (1) Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan aturan permainan GATT di bidang pertanian; dan (2) Setiap negara menyusun besaran tarif yang akan diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tarif .Ada tiga aspek yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay di bidang pertanian, yaitu: (1) Pengurangan hambatan akses pasar, berupa penurunan tarif rata-rata 36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif di negaranegara maju selama enam tahun. Sedangkan di negara-negara berkembang, hanya 24 persen selama 10 tahun. Disamping itu, setiap negara diwajibkan memberikan akses minimum tiga persen dari konsumsi domestik untuk kuota impor, dan naik  menjadi lima persen pada tahun 1999; (2) Pengurangan subsidi domestik, di mana negara-negara maju wajib mengurangi subsidi domestiknya sebesar 20 persen tanpa batas waktu dan negara-negara berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10 tahun. Sedangkan subsidi di bawah lima persen di negara-negara maju dan 10 persen di negara-negara berkembang dari total nilai produk pertanian tidak dilarang. Disamping itu, subsidi yang diterapkan sejak tahun 1986 dihitung sebagai kredit dalam komitmen; (3) Pengurangan subsidi ekspor, di mana negaranegara maju dalam enam tahun harus menurunkan subsidi ekspornya sebesar 36  persen, serta mencakup 24 persen dari seluruh kuantitas komoditas ekspor yang di subsidi. Sedangkan untuk negara-negara berkembang pengurangan itu sebesar 20 persen dari nilai pengeluaran subsidi, serta mencakup 16 persen dari kuantitas komoditas ekspor yang di subsidi selama 10 tahun.

C.PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA 
Komoditas pertanian Indonesia yang diperdagangkan di pasar internasional, dapat dibedakan atas komoditas substitusi impor dan komoditas promosi ekspor.
Dalam komoditas impor dalam perdagangan Internasional yaitu :
1.              Beras
Laju pertumbuhan produksi beras selama 1995-2002 hanya 0,1 persen, sementara impor dan ketersediaan meningkat masing-masing sebesar 226,8 persen dan 0,8 persen (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tergantung kepada beras impor, sementara upaya peningkatan produksi beras belum berjalan secara optimal. Dengan demikian, kebijaksanaan untuk terus meningkatkan produksi beras dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional masih tetap relevan.  



2.              Jagung
 Pesatnya perkembangan usaha peternakan ayam ras di Indonesia merupakan faktor utama yang mendorong pesatnya laju permintaan jagung di pasar domestik, sehingga volume impor terus mengalami peningkatan. Selain sebagai negara pengimpor, Indonesia juga melakukan ekspor jagung. Selama 1995-2002 laju impor jagung meningkat sebesar 22,3 persen, sementara laju ekspor sejak tahun 1998 menunjukkan kecenderungan yang menurun. 
3.              Kedelai
 Produksi kedelai di dalam negeri saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 32 persen konsumsi domestik, sedangkan sisanya harus diperoleh melalui impor. Permintaan impor selama 1995-2002 meningkat dengan laju 35,4 persen per tahun. Peningkatan volume impor yang tajam terjadi pada tahun 1999, yaitu 1,3 juta ton atau meningkat hampir 300 persen dibandingkan impor tahun sebelumnya. Sebaliknya, produksi kedelai di dalam negeri selama kurun waktu yang sama menurun dengan laju 12,0 persen. Impor kedelai diperkirakan akan makin besar pada tahun-tahun mendatang, karena adanya kemudahan tataniaga impor, berupa dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) kedelai. Disamping itu, negara eksportir kedelai terbesar dunia, seperti Amerika Serikat, juga menyediakan subsidi ekspor, sehingga merangsang importir kedelai di Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas itu.  
4.              Gula 
Konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta pertumbuhan industri makanan dan minuman. Selama 1995-2002 ketersediaan gula di Indonesia meningkat dengan laju 3,5 persen per tahun. Peningkatan ketersediaan yang kecil ini terjadi akibat kenaikan harga gula pada tahun 1998, sehingga konsumsi per kapita pada tahun itu menurun secara drastis. Namun terjadinya deregulasi industri gula pada tahun 1998 telah menyebabkan terjadinya penurunan produksi, sehingga impor gula mengalami peningkatan dengan laju 26,6 persen setiap tahun.
5.              Susu
Industri susu nasional saat ini menggunakan sekitar 75 persen bahan baku susu olahan yang berasal dari impor. Tingginya penggunaan susu impor ini terkait dengan rendahnya laju produksi susu sapi di Indonesia, sehingga kebutuhan impor menunjukkan peningkatan yang tajam. Produksi susu di Indonesia selama 19952002 hanya meningkat dengan laju 3,1 persen, sementara impor susu meningkat dengan laju 15,7 persen. Kenaikan impor susu tertinggi terjadi pada tahun 1999 dan 2000, yaitu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 
Komoditas Promosi Ekspor dalam  perdagangan internasional yaitu:
1.              Karet
 Produksi dan ekspor karet alam dunia sampai saat ini masih didominasi oleh tiga negara, yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia dengan proporsi masingmasing sebesar 33 persen, 25 persen dan 13 persen dari total produksi dunia.Sampai tahun 1990 Malaysia masih merupakan produsen karet alam terbesar dunia yang disusul dengan Thailand dan Indonesia. Thailand mengambil alih posisi tersebut yang diikuti oleh Indonesia dan Malaysia, setelah Malaysia yang secara tradisional merupakan produsen karet alam melakukan konversi ke tanaman yang lebih prospektif, utamanya kelapa sawit. Sejak tahun 1999 muncul negara pesaing baru, yaitu Vietnam. Selama 1997-2002 laju ekspor karet negara ini mencapai lebih dari 21,1 persen, di mana volume dan nilai ekspor karet tahun 2002 mencapai lebih dari 448 ribu ton dan US $ 229 juta. Laju ekspor karet alam dari Vietnam yang tinggi ini telah menyebabkan terjadinya kelebihan pasokan di pasar dunia, sehingga harga karet alam di pasar dunia cenderung untuk terus menurun.  
2.              Kopi
Perdagangan kopi di pasar dunia saat ini dikuasai oleh kopi Arabika dengan pangsa pasar lebih dari 75 persen, sedangkan sisanya diisi oleh kopi Robusta. Akibatnya, jika terjadi perubahan volume perdagangan kopi Arabika akan berdampak langsung terhadap permintaan kopi Robusta. Kopi Arabika merupakan jenis kopi yang dihasilkan oleh negara-negara di Amerika Latin, terutama Brazil dan Kolumbia. Sedangkan kopi Robusta banyak dihasilkan oleh negara-negara yang berada di daerah tropis di kawasan Asia Pasifik dan Afrika, seperti Indonesia dan Vietnam. Sebagai produsen utama kopi dunia, volume ekspor kopi Brazil selama 1997-2002 meningkat dengan laju 14,4 persen, dengan volume ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2002 sebesar lebih dari 1,5 juta ton . Dalam periode yang sama volume ekspor kopi India meningkat dengan laju 4,8 persen, sementara Thailand menurun dengan laju 8,5 persen. Dalam periode 1997-2002 juga terlihat bahwa nilai ekspor kopi menunjukkan penurunan di tengah peningkatan volume ekspor kopi Brazil dan India. Hal ini menunjukkan bahwa harga kopi di pasar dunia menunjukkan kecenderungan yang menurun.
3.              Coklat
Produksi dan perdagangan coklat dunia saat ini dikuasai oleh tiga negara, yaitu Pantai Gading Afrika, Ghana dan Indonesia. Pada tahun 2000 Pantai Gading Afrika menguasai pasar ekspor dengan pangsa sekitar 43 persen, sedangkan Ghana dan Indonesia masing-masing sebesar 15 persen dan 14 persen. Demikian pula untuk Malaysia yang menunjukkan kenaikan dengan laju 5,1 persen untuk volume ekspor dan 9,1 persen untuk nilai ekspor. Besarnya laju kenaikan nilai ekspor dibandingkan dengan volume ekspor ini menunjukkan bahwa harga coklat di pasar dunia menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

D. KEBIJAKAN PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN MASA MENDATANG 
Kebijakan perdagangan komoditas pertanian Indonesia dapat dibedakan atas peran komoditas itu dalam perdagangan internasional, yaitu:
(1)      Melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditas-komoditas yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat proteksi adalah beras, jagung, kedelai dan gula;
 (2) Melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi ekspor, khususnya komoditas-komoditas perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat promosi adalah karet, kopi, coklat, CPO dan lada.
         Untuk operasionalisasi kebijakan yang harus diemban pemerintah, perlu diperhatikan tiga pilar yang merupakan elemen kebijakan yang terdapat dalam perjanjian perdagangan komoditas pertanian (AoA). Ketiga pilar itu adalah: (1) Akses pasar; (2) Subsidi domestik; dan (3) Subsidi ekspor. Ketiga pilar itu terkait yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidaklah tepat apabila melihat perjanjian itu dari aspek akses pasar saja, dengan melupakan pilar yang lainnya. Subsidi ekspor komoditas pertanian yang dilakukan oleh suatu negara, misalnya, akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya, sehingga berpengaruh buruk terhadap daya saing ekspor negara lain yang tidak memberikan subsidi ekspor. Demikian pula subsidi domestik yang diberikan oleh suatu negara terhadap petaninya, dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat, karena petani di negara itu mampu menghasilkan produk dengan biaya yang lebih rendah. Dalam konteks ini, perhatian yang selama ini diberikan oleh pemerintah terhadap akses pasar untuk komoditas beras, jagung, kedelai dan gula, hendaknya dapat diperluas dengan memanfaatkan pilar-pilar lainnya serta mencakup berbagai komoditas promosi ekspor.  Untuk itu, kebijakan perdagangan komoditas pertanian dalam jangka menengah dan jangka panjang, harus didasarkan atas sasaran sebagai berikut: 1. Memberikan proteksi terhadap komoditas beras, agar 95 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi beras di dalam negeri; 2. Memberikan proteksi terhadap komoditas jagung, kedelai dan gula, agar 80 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi jagung, kedelai dan gula di dalam negeri; 3. Meningkatkan ekspor CPO dengan laju 10 persen/tahun, sementara untuk komoditas karet, kopi, coklat dan lada dapat meningkat dengan laju 5 persen/tahun; 4. Menyediakan subsidi domestik dalam bentuk subsidi pupuk dan bunga kredit, sehingga para petani dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas produk yang dihasilkan.

Satu catatan yang harus diperhatikan dalam kebijakan perdagangan di Sektor Pertanian adalah adanya keberpihakan pemerintah ke pada petani produsen. Contoh klasik dari ketidak-berpihakan pemerintah terhadap petani produsen, terlihat dari penerapan pajak ekspor produk-produk minyak sawit dengan suatu skema yang menetapkan harga patokan kena pajak. Untuk CPO ditetapkan harga patokan sebesar US $ 435/ton, dan apabila harga fob di atas itu, maka selisihnya akan dikenakan pajak ekspor dengan tingkatan yang berbeda. Penerapan kebijakan ini ternyata tidak saja merugikan petani kelapa sawit dan produsen CPO, tetapi juga memberikan efek yang negatif terhadap penerimaan pemerintah. Fenomena ini sesuai dengan penelitian bahwa ekspor Sektor Pertanian tidak pernah memperoleh insentif yang memadai untuk berkembang, sehingga petani produsen tetap menghadapi berbagai kesulitan di tengah peningkatan permintaan pangan dunia. Untuk mencapai sasaran perdagangan komoditas ini , maka diperlukan kebijakan program sebagai berikut: 1. Program peningkatan kualitas dan daya saing komoditas beras, jagung, kedelai dan gula melalui peningkatan efisiensi pada kegiatan produksi, pasca panen dan pengolahan hasil; 2. Program Penelitian dan Pengembangan Padi, Jagung dan Kedelai yang diarahkan untuk menciptakan dan mengembangkan varietas yang sesuai dengan permintaan di pasar domestik dan pasar dunia. Untuk itu, orientasi penelitian pemuliaan dan bioteknologi tanaman pangan harus diubah, dari menghasilkan varietas yang berdaya hasil tinggi menjadi varietas dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan. 3. Program Pengembangan Industri Pertanian, khususnya komoditas perkebunan, yang berorientasi pada pengembangan produk-produk yang sesuai dengan permintaan di pasar dunia. Cepatnya perubahan permintaan di pasar dunia harus dapat diantisipasi, sehingga produk ekspor yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. 4. Sementara itu,  Perdagangan dan Atase Pertanian yang ada dapat dimanfaatkan sebagai “intelijen” yang memberikan informasi terhadap setiap perubahan perilaku konsumen di negara-negara tujuan ekspor. Dengan demikian, industri pertanian di dalam negeri dapat melakukan penyesuaian terhadap perubahan permintaan di pasar dunia.  


DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A., & H. M. (2008). POLA DISTRIBUSI KOMODITAS KENTANG DI KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. Jurnal Ekonomi Pembangunan , 9(1), 96-106.
Hadi, P. U., & S. M. (2004). ANALISIS KOMPARASI DAYA SAING PRODUK EKSPOR PERTANIAN ANTAR NEGARA ASEAN DALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS AFTA. Jurnal Agro Ekonomi, 2(1), 46-73.
Hermawan, I. (2015). DAYA SAING REMPAH INDONESIA DI PASAR ASEAN PERIODE PRA DAN PASCA KRISIS EKONOMI GLOBAL. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan,, 9(2), 159.
Maliana, A. H. (2004). KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA. AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 135-156, 2(2), 135-156.
Nihayah, D. M. (2012). KINERJA DAYA SAING KOMODITAS SEKTOR AGROINDUSTRI INDONESIA. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 19(1), 37-48.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISLAMIC FINANCE (Peranan bank sayri'ah dalm meningkatkan UKM melalui pembiayaan musyarakah)